Hubbur riyasah (cinta kekuasaan) adalah salah satu syahwat yang
sering menimpa manusia. Bagi orang yang terkena penyakit ini, kekuasaan,
jabatan dan segala yang mengiringinya berupa popularitas dan ketenaran
merupakan tujuan hidupnya. Berkenaan dengan bahaya cinta kekuasaan ini
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda yang diriwayatkan
oleh Ka’ab bib Malik Radhiallaahu anhu
“Dua ekor serigala yang dilepas kepada seekor domba tidak lebih parah
kerusakannya bagi domba itu, bila dibandingkan ketamakan seseorang
terhadap harta dan kedudukan dalam merusak agamanya.” (dikeluarkan oleh
at-Tirmidzi dan mengatakan, “hadits hasan shahih”)
Al-Hafidz Ibnu Rajab tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan,
“Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam memberitahukan bahwa ketamakan
seseorang terhadap harta dan kedudukan akan merusak agamanya, dan
kerusakan itu tidak lebih kecil daripada kerusakan akibat keberingasan
dua serigala terhadap seekor domba. Bisa jadi sepadan atau mungkin lebih
besar. Ini mengisyarat kan bahwa tidak akan selamat agama seseorang
jika dia tamak terhadap harta dan kedudukan dunia, kecuali sangat
sedikit (yang bisa selamat darinya). Sebagaimana pula halnya seekor
domba tidak akan selamat dari keberingasan dua ekor serigala yang sedang
lapar, kecuali sangat sedikit sekali.
Perumpamaan yang agung ini mengandung peringatan yang keras tentang
keburukan sikap rakus terhadap harta dan kedudukan dunia, hingga beliau
mengatakan, “Adapun tamaknya seseorang terhadap kedudukan maka itu lebih
membinasa kan daripada ketamakannya terhadap harta. Karena ambisi
mencari kedudukan, kekuasaan dan kemuliaan dunia untuk mengungguli
(merasa tinggi) di atas sekalian manusia lebih berbahaya bagi seseorang
daripada ambisi terhadap harta. Menahan diri dari hal tersebut sangatlah
lebih sulit, karena untuk mencari kedudukan dan kekuasaan biasanya
seseorang rela mengorbankan harta yang amat banyak.” (Syarah hadits, ma
dzi’baani jaai’aani hal 7,13 secara ringkas)
Al Imam Ibnu Rajab kemudian menyebutkan metode setiap orang dalam
meraih kedudukan dunia. Beliau mengatakan,” Tamak terhadap kemuliaan
dunia ada dua macam;
Pertama, mencari kemuliaan dunia dengan kekuasaan,
sulthan (power), dan harta. Ini semua sangat berbahaya karena pada
umumnya akan menghalangi pelakunya untuk mendapatkan kebaikan dan
kemuliaan di akhirat. Allah ƒ¹ berfirman, artinya,
¡§Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.Dan kesudahan
(yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.¡¨ (QS. 28:83)
Hingga beliau mengatakan, “Di antara bentuk cinta kedudukan dunia
yang jelas bahayanya adalah berupa tamak terhadap pemerintahan (yakni
tamak ingin menjadi penguasa, red). Ini merupakan masalah yang sangat
pelik yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang berilmu, mengenal
Allah Subhannahu wa Ta’ala dan mencintai-Nya. Perlu diketahuai bahwa
cinta kemuliaan dengan cara tamak terhadap kekuasaan agar dapat
memerintah dan melarang serta mengatur urusan manusia (menurut
kehedaknya), jika hanya dimaksudkan semata-mata untuk tujuan memperoleh
kedudukan yang tinggi di atas sekalian orang, merasa lebih besar
daripada mereka dan agar orang terlihat membutuhkan dirinya, selalu
merendah kepadanya serta menghinakan diri ketika ada hajat dan kebutuhan
terhadapnya, maka bentuk seperti ini telah mengusik rububiyah dan
uluhiyah Allah .
Ke dua; Mencari kemuliaan dunia dan kedudukan dengan
hal-hal yang terkait dengan agama, seperti ilmu, amal ibadah dan
kezuhudan. Ini lebih buruk dari yang pertama serta lebih besar bahaya
dan kerusakannya. Karena ilmu, amal dan semisalnya hanyalah untuk
mencari derajat yang tinggi dan kenikmatan abadi di sisi Allah ƒ¹, juga
untuk bertaqarrub dan mendekatkan diri kepada-Nya. (Syarh hadits ma
dzi’baani jaai’aani, hal 7, 13 secara ringkas)
Di antara yang menambah besar bahaya ini adalah bahwasanya manusia
memiliki kecenderungan dan cinta yang besar terhadap kekuasaan dan
popularitas. Sebagaimana yang ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
“Sesungguhnya manusia jika merenungkan dan mengenali dirinya dan manusia
yang lain, maka seseorang akan melihat bahwa dirinya selalu ingin
ditaati dan ingin berada di atas sedapat mungkin. Dan jiwa itu dipenuhi
dengan rasa cinta terhadap kedudukan yang tinggi dan kekuasaan
setinggi-tingginya. Maka anda dapati dia akan memberikan loyalitas
kepada orang yang cocok dengan hawa nafsunya, dan memusuhi orang yang
menyelisihi hawa nafsunya. Maka akhirnya dia menjadi hamba hawa dan
keinginannya.”
Hingga pada ucapan beliau, “Dan kalau dia ditaati, maka dia ingin
segala yang menjadi keinginannya terus ditaati, meskipun berupa dosa dan
kemaksiatan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala. Sehingga orang yang taat
kepadanya lebih dia cintai dan lebih mulia baginya daripada orang yang
taat kepada Allah dan menyelisihi keinginannya. Ini merupakan bagian
dari keadaan Fir’aun dan seluruh orang yang mendustakan rasul-rasul.¡¨
(majmu’ al-Fatawa 8/18, secara ringkas)
Sesungguhnya gila kekuasaan tidak akan terlepas dari berbagai
kerusakan dan bermacam-macam keburukan. Sebagiannya disampaikan oleh
al-Imam Ibnu Rajab, beliau berkata, “Ketahuilah bahwa tamak terhadap
kedudukan akan menyebabkan kerusakan yang besar, sebelum orang tersebut
meraihnya, ketika orang tersebut sedang berusaha meraihnya dan
lebih-lebih setelah berhasil mendapatkannya dengan penuh ambisi, yakni
dapat menjerumuskannya ke dalam kezhaliman, takabbur dan
kerusakan-kerusakan yang lain.¡¨ (syarh hadits ma dzi’baani jaai’aani)
Dan dalam kesempatan yang lain beliau berkata, “Sesungguhnya cinta
harta dan kedudukan, serta tamak terhadapnya akan merusak agama
seseorang sehingga agama itu tidak tersisa kecuali apa yang dikehendaki
Allah Subhannahu wa Ta’ala. Hawa nafsu itu senang kepada kedudukan yang
tinggi di atas manusia lainnya, dan dari sinilah tumbuh kesombongan dan
kedengkian.” (ibid, hal 29)
Telah jelas bagi kita bahaya dan tercelanya cinta kekuasaan serta
penjelasan kerusakan yang ditimbulkan olehnya. Namun ada hal lain
berkaitan dengan masalah kekuasaan ini, bahwa ada perbedaan antara cinta
kekuasaan dan menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk da’wah kepada
Allah Subhannahu wa Ta’ala Tujuan seseorang dalam memegang kekuasan di
sini adalah untuk mengangungkan Allah dan ajaran-ajaran Nya, sedangkan
tujuan orang yang cinta kekuasaan adalah agar orang lain mengagungkan
dan menyanjung dirinya. Pemimpin pemimpin yang adil dan hakim hakim yang
lurus tidak akan mengajak orang lain untuk mengagungkan diri mereka
sama sekali, namun mereka mengajak manusia agar selalu mengagungkan
Allah semata dan mengesakan-Nya dalam beribadah. Dan di antara mereka
ada yang tidak menginginkan jabatan kecuali hanya sekedar sebagai sarana
untuk dakwah di jalan Allah Subhannahu wa Ta’ala .
Maka orang yang memohon kepada Allah agar menjadikan dirinya sebagai
imam yang selalu dijadikan contoh oleh orang-orang yang bertakwa,
sebagaimana dia juga mencontoh orang-orang yang bertakwa, maka hal ini
tidak apa-apa. Bahkan layak untuk dipuji karena dia telah menjadi
penyeru ke jalan Allah Subhannahu wa Ta’ala, senang jika Allah
Subhannahu wa Ta’ala diibadahi dan ditaati. Maka dia menyintai apa saja
yang dapat menolong dan mengantarkan pada tujuan tersebut.
Merupakan kewajiban para ahli ilmu dan penunutut ilmu untuk menjauhi
dan berhati-hati dari syahwat jabatan, kekuasaan dan popularitas, karena
ia merupakan penyakit yang membahayakan. Selayaknya orang yang
terjangkit penyakit ini segera berobat dengan cara bertaubat kepada
Allah Subhannahu wa Ta’ala, melakukan tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa)
dan muhasabah (introspeksi) terhadap dirinya.
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Riyasah (kekuasaan) lebih
disukai oleh para Qurra’ (ahli ilmu) daripada emas merah.” (kitab al
Wara’, Imam Ahmad bin Hanbal, hal 91)
Abul Farraj Ibnul Jauzi juga telah memberikan nasehatnya, “Wahai
saudaraku hendaklah kalian selalu perhatian terhadap lurusnya niat,
tinggalkan berhias (berbuat kebaikan) karena ingin disanjung orang,
jadikan tiang penyanggamu adalah istiqamah bersama yang haq. Dengan itu
para salaf menjadi tinggi dan berbahagia.” (Shaidul Khathir hal 227,
periksa juga akhlaqul ‘ulama’ oleh al-Ajuri hal 157).
Home »
al-Ukhuwah
,
Buletin
,
Cinta Dunia
,
Kekuasaan
,
Sidrap
,
Wahdah Islamiyah
» Bahaya Cinta Kekuasaan
Bahaya Cinta Kekuasaan
Written By Unknown on Sabtu, 30 Maret 2013 | 11.11
Artikel Terkait
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Label:
al-Ukhuwah,
Buletin,
Cinta Dunia,
Kekuasaan,
Sidrap,
Wahdah Islamiyah

0 komentar:
Posting Komentar