Sebenarnya kemenangan Hassan Rouhani atas lima kontestan lainnya dalam
pemilihan presiden Iran, Sabtu (14/6), bukanlah hal yang mengejutkan. Ia
satu-satunya calon konservatif yang moderat di antara lima calon
konservatif lainnya. Karena itu, ia didukung oleh mayoritas warga Iran
yang menginginkan Perubahan. Apalagi isu-isu kampanyenya sangat sesuai
dengan aspirasi warga Iran. Ia menjanjikan perubahan politik luar
negerinya yang mendekatkan Iran dengan negara-negara Barat, memperbaiki
ekonomi, menjanjikan kebebasan pers, dan pelonggaran kehidupan sosial
masyarakat.
Posisinya sebagai calon reformis diyakinkan oleh dukungan dua mantan
presiden Iran, yakni Akbar Hashemi Rafsanjani dan Muhammad Khatami.
Berikut, rakyat Iran sudah sumpek dengan 8 tahun kepemimpinan Mahmud
Ahmadinejad yang konservatif, yang membawa Iran ke situasi
ekonomi-politik yang sangat sulit. Kebijakan luar negerinya, yang
tentunya merupakan kepanjangan tangan politik dalam negeri, membuat Iran
secara politik makin terisolasi dan secara ekonomi makin terpuruk.
Inflasi Iran meningkat hingga lebih dari 20 persen, nilai tukar riyal
Iran jatuh, dan pengangguran meningkat tajam, setelah AS dan sekutu
Baratnya menjatuhkan sanksi ekonomi berupa penghentian kerja sama
perbankan dan impor minyak Iran, hingga negara itu kehilangan 20 persen
ekspor minyak, yang merupakan pendapatan utama (80 persen) negara itu.
Ahmadinejad, yang tadinya disambut gembira ketika memenangi pemilihan
presiden periode pertama pada 2005 — menggantikan Muhammad Khatami yang
tidak bisa mengikuti pemilihan presiden setelah berkuasa dua periode –
karena kehidupannya yang sangat sederhana dan menjanjikan kehidupan
ekonomi yang lebih baik bagi seluruh rakyat Iran, ternyata membawa mimpi
buruk.
Tindakan pertama yang dilakukan adalah mencabut segel yang dipasang
oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pada tahun 2005 di
situs-situs reaktor nuklir Iran sebagai hasil negosiasi Iran dan IAEA
untuk menghindari konfrontasi dengan negara-negara Arab, Barat-Israel.
Hasil negosiasi itu, yang menghindari Iran dari sanksi ekonomi militer
Barat-Israel, merupakan buah tangan Rouhani.
Tindakan menghidupkan kembali proses pengayaan nuklir Iran hingga 20
persen, yang diduga Barat sebagai upaya rezim Iran membuat senjata
nuklir, semakin menciptakan ketegangan, malah memperburuk hubungan Iran
dan Barat. Kalau bukan karena pencegahan AS, mungkin Israel telah
menyerang situs-situs nuklir Iran.
Teheran mengatakan program nuklir Iran itu bertujuan damai untuk
meningkatkan daya listrik Iran dan riset di bidang kedokteran dan
pertanian, yang memang merupakan hak Iran sebagai negara penandatangan
Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT).
Tetapi ketidaktransparansi Iran dalam menjelaskan kepada IAEA
mengenai program nuklirnya menambah kecurigaan IAEA hingga menambah
kecurigaan dan kecemasan Barat dan Israel. Arab Saudi malah, sebagaimana
diungkapkan Wikileaks, mendorong AS agar menyerang Iran dengan biaya
perang ditanggung Arab Saudi.
Keterlibatan Iran dalam krisis Suriah dengan membantu senjata dan
personel militer dalam memerangi kelompok oposisi Suriah, serta
dukungannya pada Hizbullah Lebanon yang militan, Hamas yang memisahkan
diri dari Fatah, dan khususnya warga Syiah Bahrain yang menghadapi Arab
Spring semakin menjengkelkan Arab Saudi dan anggota Dewan Kerja Sama
Teluk (GCC) lainnya serta AS. Karena Bahrain merupakan pangkalan militer
satu-satunya AS di Teluk Persia yang strategis itu.
Pernyataan berulang-ulang oleh Ahmadinejad bahwa holocaust atau
pembunuhan massal orang Yahudi di Eropa (sebanyak 6 juta jiwa) oleh NAZI
Jerman dalam Peranmg Dunia II sebagai mitos belaka mengagetkan Uni
Eropa dan AS.
Kebijakan-kebijakan Ahmadinejad untuk konsolidasi konservatif di
dalam negeri justru berbuah sebaliknya. Iran semakin dijauhi komunitas
internasional dan menciptakan perpecahan di dalam negeri antara kubu
konservatif dan reformis. Pada pemilihan presiden tahun 2009, jutaan
warga Iran turun ke jalan memprotes hasil pemilu yang diumumkan
pemerintah di mana Ahmadinejad dinyatakan menang untuk kedua kalinya.
Mantan ketua parlemen Iran Mehdi Karubi dan mantan perdana menteri
Iran di era Khomeini, Mir Mohsen Musavi, menyatakan Dewan Garda yang
menyelenggarakan pemilu melakukan kecurangan. Hassan Rouhani termasuk
tokoh yang memprotes hasil pemilu itu. Beruntung ia tidak ditahan
sebagaimana Karubi dan Musavi yang hingga hari ini masih dikenai tahanan
rumah.
Tak heran, segera setelah pemerintah mengumumkan Rouhani sebagai
pemenang pemilu dengan suara sedikit lebih besar dari 50 persen,
meninggalkan lawan-lawannya jauh di belakang, jutaan rakyat Iran kembali
turun ke jalan. Tapi kali ini bukan memprotes hasil pemilu melainkan
merayakan kemenangan Rouhani.
Ulama cerdas yang menguasai lima bahasa Jerman, Perancis, Inggris,
Rusia, dan Arab dan pernah menduduki berbagai lembaga strategis negara.
Bagaimanapun, setelah dilantik pada 3 Agutus, ia akan segera
menghadapi masalah-masalah besar dan strategis yang ditinggalkan
Ahmadinejad.
Perbaikan ekonomi Iran, yang dijanjikan Rouhani, belum tentu dapat
direalisir tanpa mengubah kebijakan luar negeri yang dilakukan
Ahmadinejad. Bisakah ia menjawab harapan Barat-Israel dan Arab untuk
membekukan program nuklir Iran seperti yang dilakukannya pada tahun 2005
setelah berunding dengan Jerman, Perancis, dan Inggris?
Setidaknya ia bisa membangun kepercayaan pada musuh-musuh negaranya
bahwa mereka tak perlu khawatir karena program nuklir Iran benar-benar
bertujuan damai dengan cara meyakinkan IAEA. Hal ini tidak mudah karena
program nuklir Iran telah menjadi konsensus nasional.
Sikap lunak Iran terhadap isu ini dikhawatirkan akan member indikasi
lemahnya Iran. Pada 2005 ketika ia melakukan itu, kritik dilancarkan
kepadanya. Tapi kalau ia tak mampu membuat terobosan yang memuaskan
Barat sehingga sanksi bisa dicabut, ia tak akan bisa mewujudkan harapan
warga Iran yang telah memilihnya.
Isu lain adalah krisis Suriah. Bisakah pemerintahan Rouhani menarik
dukungannnya terhadap rezim Presiden Bashar al-Assad sebagaimana yang
diharapkan negara-negara Arab dan Barat? Perang saudara Suriah bernuansa
perang sektarian antara kaum Sunni yang jadi pemberontak dan rezim
Bashar al-Assad yang didominasi kaum Syiah Alawiyah.
Iran ngotot mendukung rezim Assad yang telah menyebabkan kematian
lebih dari 90 ribu orang dan menciptakan lebih dari satu juta pengungsi
Suriah karena Suriah merupakan satu-satunya sekutu Arabnya yang paling
setia. Selain itu, secara geostrategis, Suriah sangat penting bagi
pengaruh Iran di Timur Tengah.
Negara ini bertetangga dengan Israel, Lebanon, dan Irak sehingga
menjadi ujung tombak menghadapi Israel. Hilangnya Suriah dari pengaruh
Iran akan menyebabkan Hizbullah di Lebanon dan Hamas menjadi lemah dan
bisa menganggu stabilitas Irak, tetangga Iran, yang kini diperintah kaum
Syiah yang bersekutu dengan Iran.
Perubahan yang terlalu radikal atas dua isu di atas mungkin akan
ditentang Ayatullah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran yang
konservatif. Isu lain, apakah Rouhani bersedia membiarkan media-media
reformis dihidupkan kembali? Pada tahun 1999, ketika warga Iran turun ke
jalan menentang penutupan puluhan media reformis, Rouhani – yang ketika
itu duduk di Dewan Pertahanan Iran – ikut menumpas demonstrasi itu. Para
pendukungnya tentunya berharap Rouhani kini membiarkan berjamurnya
media-media reformis.
Politik détente terhadap tetangga Arabnya di Teluk, sebagaimana
dilakukan Khatami dulu — juga harus dilakukan untuk meredakan ketegangan
di kawasan strategis itu. Tapi itu berarti rezim Rouhani harus menarik
dukungannya terhadap warga Syiah di Bahrain yang menuntut perubahan di
negara yang diperintah minoritas Sunni.
Bila Rouhani mampu melakukan terobosan-terobosan yang diterima
musuh-musuhnya di kawasan dan Barat pimpinan AS, sehingga berujung pada
pencabutan sanksi dan Iran keluar dari isolasi internasional akan
kembali berjaya di panggung internasional mengingat posisi strategisnya
di kawasan itu.
Bila sebaliknya, di mana ia tak bisa mewujudkan harapan mayoritas
warga Iran yang mendukungnya karena dicekal Khamenei yang menguasai
seluruh organ penting negara, Iran akan semakin terpuruk secara politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Sekarang saja ratusan kaum terdidik Iran
setiap bulan keluar dari negaranya menuju negara-negara maju untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik.*
*Olwh: Smith Al-haddar, pengamat dunia Timur Tengah.
http://www.an-najah.net/
Home »
Ahmadinejad
,
Hassan Rouhani
,
Hizbullah
,
Internasional
,
Iran
,
presiden
,
Wahdah Islamiyah
» Tantangan Berat yang Dihadapi Presiden Baru Iran
Tantangan Berat yang Dihadapi Presiden Baru Iran
Written By Admin on Selasa, 25 Juni 2013 | 10.04
Artikel Terkait
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Label:
Ahmadinejad,
Hassan Rouhani,
Hizbullah,
Internasional,
Iran,
presiden,
Wahdah Islamiyah

0 komentar:
Posting Komentar