ุจุณู ุงููู ุงูุฑุญู ู ุงุฑุญูู
Indahnya Sikap Pertengahan
Menyikapi Fenomena Tahdzir Antara Sikap Berlebihan dan Meremehkan
Oleh : HARMAN TAJANG, Lc. M.H.I
(Disajikan pada acara Tabligh Akbar di Masjid Raya Pangkajene
Sidrap,Tgl 17-2-1435 H/10-12-2014)
Muqaddimah
Bersikap pertengahan merupakan perkara yang sangat ditekankan
dalam syariat. Islam sebagai agama rahmat/kasih sayang tidak menghendaki
pemeluknya berlebihan dalam menjalankan Ibadah dan tidak pula terlalu
bermudah-mudahan atau bersikap meremehkan. Sifat pertengahan harus selalu
diutamakan dalam menyikapi suatu perkara, karena demikianlah tuntunan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ahlu sunnah wal jama’ah sebagai kelompok yang telah mendapatkan tazkiyah dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salah satu cirinya adalah
memiliki sikap pertengahan. Pertengahan dalam akidah dan manhaj serta mulia
dengan akhlaknya. Mereka tidak mudah mengkafirkan pelaku dosa besar sebagaimana
akidah khawarij,
tidak pula berkeyakinan bahwa dosa besar tidak mempengaruhi keimanan seseorang,
sebagaimana pemahaman murjiah dan tidak pula sebagaimana pemahaman mu’tazilah bahwa pelaku
dosa besar kedudukannya antara dua manzilah, yaitu antara kafir dan beriman akan tetapi pelakunya
kekal di neraka.
Adapun ahlu sunnah waljama’ah, mereka selalu menempatkan sesuatu seusuai kedudukannya. Bahwa
pelaku dosa besar adalah seorang muslim yang kurang keimanannya. Jika Allah
menghendaki Allah akan mengazabnya dan jika Allah menghendaki Allah akan
mengampuninya. Ahlu sunnah adalah kelompok yang adil, selalu berusaha
menghukumi seseorang dengan tidak mengedepankan hawa nafsu dan kebodohan. Ghuluw sangat jauh dari sifat mulia mereka.
Inilah
karekteristik ahlu sunnah wal jama’ah yang mulia, yang membedakannya dengan beberapa kelompok sesat
lainnya. Namun, nama ahlu sunnah kini diperebutkan oleh beberapa
kelompok. Lalu setiap kelompok saling mencela satu sama lain dengan menggunakan
kalimat-kalimat yang keji, yang kalimat mereka itu hanya pantas di ucapkan oleh
orang yang tidak berilmu. Mereka tidak sadar telah masuk dalam talbis iblis
yang berupaya menjatuhkan mereka sebagaimana kelompok-kelompok sesat yang kami
sebutkan di atas. Sadar atau tidak sadar, sebagian mereka telah terjatuh di
dalamnya, bahkan lebih parah lagi. Diantara mereka ada yang menyesatkan
saudaranya karena melakukan satu amalan yang hakikatnya bukanlah perbuatan
dosa. Akan tetapi perbuatan itu dihias dengan kata-kata yang syar’i agar enak didengar oleh orang lain, lalu dengan entengnya mereka
mengatakan, “ini adalah bentuk tahdziran untuk mereka.”
Fenomena Saling Tahdzir dan Penyesatan Serta Pengkafiran di Kalangan
Penuntut Ilmu
Hakikatnya
tahdzir merupakan sesuatu yang disyariatkan. Akan tetapi perlu berhahati-hati
dalam masalah ini, seorang muslim hendaknya mengecek kebenaran berita yang
sampai padanya tentang berita yang membicarakan kehormatan saudaranya dan
hendanya senantiasa megedepankan prasagka baik kepad saudaranya . Jangan sampai
ia malah mentahdzir suatu kaum dengan perkara yang tidak ada padanya. Tentu hal
ini adalah musibah besar bagi dirinya, dimana ia harus mempertanggung
jawabkannya di hadapan Allah jalla wa’ala tentang kehormatan saudaranya yang ia cemarkan. Sehingga
tabayyun/konfirmasi dalam hal ini harus selalu dikedepankan ketika mendengarkan
berita. Bahkan ketokohan seseorang yang terkenal dengan luasnya keilmuan dan
keimanannya pun jika ia memberitakan satu berita yang tidak sesuai dengan
pernyataan pemilik kisah maka kabarnya tertolak.
Cara
menyikapi berita yang benar sebegaimana praktek para salaf:
1.
Mendahulukan
riwayat pemilik kisah daripada riwayat yang bukan pemilik kisah karena dia
lebih tahu apa yang terjadi pada dirinya. Misalnya:
Hadits ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallalahu
‘alaihi wasalam menikahi Maimunah dalam keadaan
ihram (kondisi ini diharamkan menikah).[1]
Kemudian
ada hadits lain yang menyelisihi hadits Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
dari Yazid ibn al-Ashm dia berkata bahwa Maimunah bintu Harits telah
menceritakan kepadanya bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menikahinya dalam keadaan halal.[2]
Dalam
kondisi seperti ini, riwayat dari Maimunahlah yang harus didahulukan daripada
riwayat ibnu Abbas karena dia adalah pemilik kisah yang lebih tahu tentang
dirinya sendiri.
2.
Mendahulukan
riwayat yang melihat kisah secara langsung dari yang tidak melihat kisah.
Misalnya:
Hadits dari Abdullah ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menikahi Maimunah dalam keadaan ihram.[3]
Kemudian
ada riwayat dari Abu Rafi’ dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menikahi Maimunah dalam keadaan halal dan saat itu diriku adalah utusan
diantara mereka berdua.”[4]
Maka
dalam hal seperti ini, riwayat Abu Rafi’ harus didahulukan karena dia sebagai utusan yang berada diantara
mereka berdua, yang melihat peristiwa secara langsung.[5]
Fenomena
Hajr dari Tahdzir Yang Tidak Benar
Hajr
adalah sesuatu yang disyariatkan dalam islam asal ketentuan-ketentuannya
terpenuhi. Olehnya dalam menghajr seseorang harus memahami beberapa hal
berikut:
1.
Hajr
merupakan bentuk hukuman yang syar’i bagi orang yang di Hajr, ini merupakan
jenis jihad di jalan Allah agar menjadikan kalimat Allah lebih tinggi.
2.
Membangunkan
jiwa-jiwa kaum muslimin dari keterjatuhan mereka pada bid’ah
3.
Mencegah tersebarnya
bid’ah
4.
Mencegah para
pelaku bid’ah dan melarang mereka, agar mereka semakin lemah dalam menyebarkan
bid’ahnya
5.
Memberi
tanbih pada pelaku bid’ah akan kesalahannya.
Karena hajr merupakan ibadah, maka ada dua syarat yang harus di
penuhi, yaitu:
1.
Ikhlas
2.
Al-mutaba’ah
Dalam menghajr seseorang harus memastikan beberapa perkara
berikut:
a.
Memastikan
dan menkonfirmasi adanya bid’ah. Tidak cukup dengan mendengar dari orang lain
atau menaqal (memindahkan berita) dari orang perorang. Bahkan harus memastikan
langsung pada pelakunya.
b.
Hendaknya bid’ah
itu adalah perkara yang disepakati para oleh ulama, maka tidak boleh menghajr
pada perkara yang khilafiyyah.
c.
Sampainya
hujjah pada pelaku bid’ah, ia memahaminya, hilangnya penghalang berupa
kebodohan, dan teragkatnya syubhat padanya dan terbangun dari kelalaian.
Maka secara singkat dhawabith dari hajr ini adalah:
1.
Memperhatikan
perkara mashlahat dan mafsadah (kerusakan)
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : "adapun hajr ta'zir (hukuman)
seperti yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dan hajr Umar dan
kaum muslimin pada Shabigh maka, hal ini merupakan hukuman, dan jika cara ini
dapat memberi manfaat/kebaikan dan mencegah sebuah kemungkaran maka, ia disyari'atkan,
namun jika kerusakan semakin bertambah maka, ia (hajr) tidaklah
disyari'atkan".[8]
2.
Hukuman terjadi para orang-orang yang berdosa (terus menerus dalam
kesalahannya: pent)
Ketidak pahaman sebagian penuntut ilmu akan hal ini membuat mereka
merasa enteng dengan perlakuannya. Menyesatkan saudaranya dalam perkara
ijtihadiyyah bahkan dalam perkara yang belum pernah di konfirmasi sebelumnya.
Jika saja dalam masalah tahdzir dan hajar tidak diperbolehkan dalam masalah
seperti ini (khilafiyyah), maka menyesatkan kaum muslimin adalah perbuatan yang
lebih rusak dan lebih berbahaya. Hal ini adalah kezholiman terhadap paraduat
dan para ulama. Mereka menganggapnya remeh tapi di sisi Allah ini adalah
perkara yang sangat besar.
Perbedaan Antara Celaan dan Nasehat
Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah memaparkan perbedaan nasehat dan
celaan, beliau berkata:
“Perbedaan antara nasehat dan celaan adalah bahwasanya nasehat
merupakan perbuatan yang dilandasi kebaikan kepada orang yang dinasehatinya
dalam bentuk kasih sayang, kelemah lembutan dan kecemburuan atas kesalahannya.
Dia adalah kebaikan, dalam penyampaiannya dengan cinta yang muncul dari kasih
sayang dan kelemah lembutan. Tujuannya adalah untuk mengharapkan wajah Allah
dan keridhoan-Nya serta kebaikan kepada hamba-Nya. Maka hendaklah seorang
pemberi nasehat menyampaikannya dengan sangat lemah lembut dan tidak menyakiti
orang yang di nasehati beserta imam-imamnya. Hendaknya ia bermuamalah dengannya
sebagaimana muamalahnya seorang dokter
yang penuh kelemah lembutan kepada pasiennya yang sakit. Dokter itu akan
berupaya untuk tidak menyakitinya dan menghilangkan perbuatan buruk terhadapnya
lalu berupaya semaksimal mungkin dengan kelembutan agar ia bisa mengkonsumsi
obatnya. Beginilah seseorang memberikan nasehat. Adapun orang yang mencela
adalah seseorang memperlakuan orang lain dengan maksud menghinakan, mencela dan
menyakiti dalam bentuk nasehat. Ia berkata wahai fulan seperti ini, seperti
ini, wahai orang yang berhak mendapatkan kehinaan dan celaan, dalam bentuk
nasehat. Ciri-ciri perbuatan seperti ini adalah, apabila seseorang yang
menasehati tadi melihat seseorang mencintainya (orang yang dinasehati) dan
berbuat baik padanya atas yang ia perbuat atau merupakan perbuatan buruk
baginya (bagi pemberi nasehat) maka dia tidak akan memperhatikannya dan tidak
akan berkata apapun padanya satu katapun…
Lalu
diantara perbedaannya pula adalah,
bahwasanya seorang yang memberikan nasehat tidak akan memusuhimu jika engkau
tidak menerima nasehatnya lalu ia mengatakan telah sampai pahalaku pada Allah
engkau menerimanya atau tidak, lalu ia mendoakan kebaikan padamu dalam keadaan
engkau tidak mengetahuinya lalu tidak menyebutkan aib-aibmu dan tidak
menjelaskannya di hadapan manusia. Adapun seorang pencela, kebalikan dari hal itu.[9]
Al-Imam
Ibnu Hazm azh-Zhahiri rahimahullah berkata:
“Dan
jangan kamu paksakan nasehat agar diterima. Jika kamu menyelisihi sisi ini,
maka kamu adalah seorang yang zholim bukan pemberi nasehat, dan peminta
ketaatan kepada yang dinasehati, bukan menunaikan hak amanah dan ukhuwah, ini
bukan semata-semata hukum logika, dan bukan juga semata-semata hukum
pertemanan, tapi hukum amir (pemerintah) dengan rakyatnya, dan tuan terhadap
hambanya.”[10]
Al-Inshof Permata
Salaf Yang Hilang Dari Mereka
Inshof (adil) seharusnya menjadi perhiasan akhlaksetiap muslim, terlebih lagi bagi mereka yang mengaku sebagai
penghidup sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena tatkala sifat
ini hilang dari kepribadian seorang muslim, maka tabiat babi menghiasi suluk dan
perangainya, sebagaimana perkataan al Imam Ibnu Qayyim al Jauziyyah rahimahullah:
“Diantara
manusia ada yang tabiatnya seperti tabiat babi. Seekor babi jika melewati
sesuatu yang baik-baik maka ia tidak memiliki hajat padanya, akan tetapi
apabila ada seorang manusia yang selesai buang kotorannya, maka babi itu akan
mendatanginya dan melahap habis kotoran tersebut. Seperti itulah tabiat
kebanyakan manusia. Mereka mendengar dan melihat kebaikanmu berlipat-lipat dari
kesalahanmu akan tetapi kebaikan itu tidak mereka hafalkan, tidak menukilnya
dan tidak pula cocok dengannya. Tapi jika melihat ketergelinciran atau ucapan
yang cacat maka ia telah mendapatkan yang dicarinya, dan dijadikannya sebagai
buah santapan kemudian ia sebarkan.”[11]
Mari
kita menengok akhlak para ulama salaf lalu membandingkannya dengan akhlak
mereka yang mengaku paling sunnah. Adalah al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah
ketika menguraikan biografi Qatadah Ibnu Di’amah as-Sadusi seorang ahli tafsir beliau berkata:
Kemudian
seorang alim yang besar, jika kebenarannya jauh lebih banyak, diketahui bahwa
ia sangat hati-hati meniti kebenaran, ilmunya luas dan kecerdasannya tampak,
kesalehan, kewaraan dan ittiba’nya kepada sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diketahui,
maka ketergelincirannya dimaafkan. Kita tidak boleh menyesatkannya,
melemparkannya dan melupakan kebaikannya. Benar kita tidak boleh mengikuti bid’ah
dan kesalahannya dan kita berharap ia telah bertaubat dari hal itu.”[12]
Demikian
pula saat beliau menjelaskan biografi Muhammad Ibnu Nashr Ibnu al-Hajjaj
al-Marwazy[13],
imam adz-Dzahabi berkata:
“Dan
seandainya setiap kali seorang imam salah dalam ijtihadnya terhadap
masalah-masalah tertentu maka kesalahannya itu dimaafkan. Lalu kita berdiri
menyerangnya, melemparkan tuduhan bid’ah dan
menghajrnya (mengisolir/mendiamkan). Maka tidak akan ada seorang ulama pun yang
akan selamat dari kita. Tidak Ibu Nashr, tidak pula Ibnu Mandah, bahkan tidak
pula yang lebih besar dari keduanya. Allah jualah yang memberikan hidayah untuk
makhluk-Nya kepada kebenaran, dan Dia Maha Pengasih dan kita berlindung
pada-Nya dari kekerasan hati.”[14]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Aku akan selalu berlapang dada terhadap orang
yang menyelisihiku walaupun dia berlebihan terhadap batasan-batasan Allah
terhadapku misalnya mengkafirkan, memfasikkan, berdusta, atau fanatik
kebodohan. Adapun aku, tidak akan membalasnya dengan berlebihan terhadap
batasan-batasan Allah. Justru aku akan menyandarkan perkataan dan perbuatanku
dengan wazan (timbangan) berupa timbangan keadilan.”[15]
Allah
Memperlihatkan Siapa Yang Gemar Berpecah
Jika
melihat kenyataan yang terjadi, rupanya orang-orang yang ghuluw dalam
mentahdzir sudah saling memakan antar sesama mereka sendiri. Tidak mendapati
orang lain siapa yang harus di tahdzir, maka saudara sendiri yang dihantam.
Ibarat peminum khamar, peminumnya akan mabuk hingga tidak mengenal siapa lawan
atau kawannya. Yang ada di benaknya adalah siapa yang menyelisihihnya akan di
maki atau diajak berkelahi.
Rupanya
ghuluw telah membuat mereka mabuk dan Allah memperlihatkan siapa sebenarnya
yang lebih menjaga persatuan umat ini. Ketika mereka ghuluw mencari seseorang
tanpa cela maka diantara mereka sendiri yang dulu bersama dalam satu majelis
tiba-tiba saling menyerang bahkan terkadang murid menyerang gurunya sendiri dan
saling melepar dengan tuduhan-tuduhan yang keji yang orang awam pun malu
mendengar apatah lagi mengucapkannya, semakin terpecahlah mereka dan setiap
mereka bangga dengan golongannya bahkan mungkin bangga dengan perpecahan
tersebut, semakin bahagialah musuh-musuh Islam dan ahlussunnah, waktu terbuang
percuma yang semestinya dimanfaatkan lebih maksmimal untuk menghafal ilmu
seperti Al-Qur'an dan As-Sunnah justru habis untuk menyebarkan fitnah keji baik
terang-terangan maupun tersembunyi, diawal majelis terkadang nmpak pembahasan
ilmiah yang menjadi pembahasan para salaf namun, diakhir majelis hidangan
daging para ulama dan para dai yang tidak lepas dari mulut mereka yang berbisa,
kekerasan hati semakin terasa, materi ukhuwah tinggallah teori dan kenangan,
ketika sesama ikhwah dahulu berjumpa dijalan sapaan hangat menjadi sambutan
diantara mereka apatah lagi ketika ia melihat syiar sunnah pada penampilannya,
namun sekarang sungguh sangat memilukan, tiada lagi salam, sapaan apatah lagi
senyuman, yang ada hanyalah muka masam, cibiran dan saling membelakangi, dan
parahnya lagi bid'ah yang seperti ini dilakukan atas nama agama, yang agama
berlepas dari akhlak tersebut, pantaslah para ulama menyebut bahwa syaitan
lebih senang kepada ahlu bid'ah dari ahlu maksiat karena mereka menganggap
kebid'ahan yang mereka lakukan itu adalah ibadah yang mendekatkan mereka pada
Allah, wallahul musta'an.
Perpecahan
juga terjadi pada mereka yang membuat “piagam prasasti ke ahlusunaan”, dimana
yang menanda tangani piagam tersebut adalah ustadz-ustadz ahlu sunnah di
Indonesia versi mereka, lalu mengeluarkan rekomendasi beberapa ustadz dan ormas
yang sesat menurut mereka. Namun, sungguh miris dan memalukan, mereka justru
pada hari ini saling mencaci maki dan saling melabelkan istilah kadzdzab
(pendusta) pada sebagian yang lain.
Sungguh
benar apa yang dikatakan oleh al-Hafizh Abul Qasim ‘Ali Ibnu al-Hasan Ibnu
Hibatullah Ibnu Asakir rahimahullah, beliau berkata:
“ketahuilah wahai sadaraku, semoga Allah
memberi taufik kepada kami dan juga padamu pada keridhoan-Nya agar termasuk
orang-orang yang takut dan bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa bahwasanya
daging-daging para ulama rahimahumullah itu beracun.”[16]
Nampaknya
racun itu sementara menggerogoti tubuh mereka akibat memakan daging-daging para
ulama dalam majelis-majelisnya. Seseorang yang dahulunya diakui oleh gurunya,
kini justru ditahdzir oleh gurunya sendiri bahkan dikatakan sebagai pendusta.
Begitupula yang lainnya, saling memaki dan mencaci lalu berpecah-belah. Lalu
siapa yang menjaga persatuan umat??? Sungguh indah perkataan seorang penyair:
ูjika engkau ingin hidup selamat dari gangguan
Maka hiduplah dengan meninggalkan keburukan manusia
Dan
semua orang mengaku punya hubungan dengan Salma
Akan
tetapi Salma tidak mengakui pengakuan-pengkuan mereka itu[17]
Nukilan
beberapa Nasehat dan fatwa para ulama
NASEHAT
EMAS SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH RAHIMAHULLAH
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
ููุซูุฑ ู
ู
ุงููุงุณ ูุฒู ุงูุฃููุงู ุจุงูุฑุฌุงู، ูุฅุฐุง ุงุนุชูุฏ ูู ุงูุฑุฌู ุฃูู ู
ุนَุธَّู
: َูุจِู ุฃููุงَูู ูุฅู
ูุงูุช ุจุงุทูุฉً ู
ุฎุงููุฉً ูููุชุงุจ ูุงูุณูุฉ، ุจู ูุง ูุตุบู ุญููุฆุฐ ุฅูู ู
َْู ูุฑุฏّ ุฐูู ุงูููู
ุจุงููุชุงุจ ูุงูุณูุฉ، ุจู ูุฌุนู ุตุงุญุจู ูุฃูู ู
ุนุตูู
! ูุฅุฐุง ู
ุง ุงุนุชูุฏ ูู ุงูุฑุฌู ุฃูู ุบูุฑ
ู
ุนَุธَّู
: ุฑุฏَّ ุฃููุงَูู ูุฅู ูุงูุช ุญًّูุง، ููุฌุนู ูุงุฆู ุงูููู ุณุจุจًุง ูููุจูู ูุงูุฑุฏ ู
ู
ุบูุฑ ูุฒู ุจุงููุชุงุจ ูุงูุณูุฉ.
ููุฏ ูุงู ุนูู
ุจู ุฃุจู ุทุงูุจ ุฑุถู ุงููู ุนูู ููุญุงุฑุซ ุจู ุญูุท ูู
ุง ูุงู ูู: ูุง ุนّูู ุฃุชุธู ุฃู ุทูุญุฉ ูุงูุฒุจูุฑ
ูุงูุง ุนูู ุจุงุทู ูุฃูุช ุนูู ุญู؟ [ููุงู]: ูุง [ูุง] ุญุงุฑِ ุฅูู ู
ูุจูุณ ุนููู، ุงุนุฑู ุงูุญู ุชุนุฑู
ุฃููู، ุฅู ุงูุญู ูุง ُูุนุฑู ุจุงูุฑุฌุงู، ูุฅูู
ุง ุงูุฑุฌุงู ُูุนุฑููู ุจุงูุญู.
ّููู ู
ู ุงุชุฎุฐ
ุดูุฎًุง ุฃู ุนุงูู
ًุง ู
ุชุจูุนًุง ูู ّูู ู
ุง ููููู ูููุนูู، ููุงูู ุนูู ู
ูุงููุชู ููุนุงุฏู ุนูู
ู
ุฎุงููุชู ุบูุฑ ุฑุณูู ุงููู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
: ููู ู
ุจุชุฏุน ุถุงّู ุฎุงุฑุฌ ุนู ุงููุชุงุจ ูุงูุณูุฉ،
ุณูุงุก ูุงู ู
ู ุฃูู ุงูุนูู
ูุงูุฏูู - ูุงูู
ุดุงูุฎ ูุงูุนูู
ุงุก - [ุฃ] ู ูุงู ู
ู ุฃูู ุงูุญุฑุจ
ูุงูุฏููุงู - ูุงูู
ููู ูุงููุฒุฑุงุก - .
ุจู ุงููุงุฌุจ ุนูู
ุฌู
ูุน ุงูุฃู
ุฉ ุทุงุนุฉ ุงููู ูุฑุณููู، ูู
ูุงูุงุฉ ุงูู
ุคู
ููู ุนูู ูุฏุฑ ุฅูู
ุงููู
، ูู
ุนุงุฏุงุฉ ุงููุงูุฑูู
ุนูู ูุฏุฑ ููุฑูู
، ูู
ุง ูุงู ุชุนุงูู: {ุฅَِّูู
َุง َُُِّููููู
ُ ุงَُّููู َูุฑَุณُُُููู
َูุงَّูุฐَِูู ุขู
َُููุง ุงَّูุฐَِูู ُِูููู
َُูู ุงูุตََّูุงุฉَ َُููุคْุชَُูู ุงูุฒََّูุงุฉَ
َُููู
ْ ุฑَุงِูุนَُูู (55) َูู
َْู َูุชَََّูู ุงََّููู َูุฑَุณَُُููู َูุงَّูุฐَِูู ุขู
َُููุง
َูุฅَِّู ุญِุฒْุจَ ุงَِّููู ُูู
ُ ุงْูุบَุงِูุจَُูู} [ุงูู
ุงุฆุฏุฉ: 55 - 56]، ููุงู ุชุนุงูู: {َูุงูู
ُุคْู
َُِููู
َูุงูู
ُุคْู
َِูุงุชُ ุจَุนْุถُُูู
ْ ุฃََِْูููุงุกُ ุจَุนْุถٍ} [ุงูุชูุจุฉ: 71].
ููุงู ุงููุจู
ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
: «ู
َุซَู
ุงูู
ุคู
ููู ูู ุชูุงุฏّูู
ูุชุฑุงุญู
ูู
ูุชุนุงุทููู
ูู
ุซู ุงูุฌุณุฏ ุงููุงุญุฏ ุฅุฐุง ุงุดุชูู ู
ูู ุนุถู ูุงุญุฏ
ุชุฏุงุนู ูู ุณุงุฆุฑ ุงูุฌุณุฏ ุจุงูุญู
ู ูุงูุณูุฑ». ููุงู: «ุงูู
ุคู
ู ููู
ุคู
ู ูุงูุจููุงู ูุดุฏّ ุจุนุถู ุจุนุถًุง ูุดุจَّู ุจูู ุฃุตุงุจุนู».
ููู «ุงูุตุญูุญ» ุนูู ุฃูู ูุงู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
: «ุฅّู ุงููู ูุฑุถู ููู
ุซูุงุซًุง: ุฃู ุชุนุจุฏูู ููุง ุชุดุฑููุง ุจู ุดูุฆًุง، ูุฃู
ุชุนุชุตู
ูุง ุจุญุจู ุงููู ุฌู
ูุนًุง ููุง ุชูุฑููุง، ูุฃู ุชูุงุตุญูุง ู
ู َّููุงู ุงููู ุฃู
ุฑูู
». {ََููุง ุชَُُููููุง َูุงَّูุฐَِูู ุชََูุฑَُّููุง َูุงุฎْุชََُูููุง ู
ِْู
ุจَุนْุฏِ ู
َุง ุฌَุงุกَُูู
ُ ุงْูุจََِّููุงุชُ َูุฃَُููุฆَِู َُููู
ْ ุนَุฐَุงุจٌ ุนَุธِูู
ٌ (105) َْููู
َ
ุชَุจَْูุถُّ ُูุฌٌُูู َูุชَุณَْูุฏُّ ُูุฌٌُูู َูุฃَู
َّุง ุงَّูุฐَِูู ุงุณَْูุฏَّุชْ ُูุฌُُُูููู
ْ
ุฃََْููุฑْุชُู
ْ ุจَุนْุฏَ ุฅِูู
َุงُِููู
ْ َูุฐُُูููุง ุงْูุนَุฐَุงุจَ ุจِู
َุง ُْููุชُู
ْ
ุชَُْููุฑَُูู (106) َูุฃَู
َّุง ุงَّูุฐَِูู ุงุจَْูุถَّุชْ ُูุฌُُُูููู
ْ َِููู ุฑَุญْู
َุฉِ
ุงَِّููู ُูู
ْ َِูููุง ุฎَุงِูุฏَُูู} [ุขู ุนู
ุฑุงู: 105 - 107].
ูุงู ุงุจู ุนุจุงุณ:
ุชุจูุถُّ ูุฌูู ุฃูู ุงูุณูุฉ ูุงูุฌู
ุงุนุฉ، ูุชุณูุฏُّ ูุฌูู ุฃูู ุงูุจุฏุนุฉ ูุงููุฑูุฉ.
ููุฐุง ูู ุงูุฃุตู
ุงููุงุฑู ุจูู ุฃูู ุงูุณูุฉ ูุงูุฌู
ุงุนุฉ، ูุจูู ุฃูู ุงูุจุฏุนุฉ ูุงููุฑูุฉ. ูุฅّู ุฃูู ุงูุณูุฉ ูุงูุฌู
ุงุนุฉ
ูุฌุนููู ุฑุณูู ุงููู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ูู ุงูุฅู
ุงู
ุงูู
ุทูู، ุงูุฐู ูุชุจุนููู ูู ِّูู ุดูุก
ูููุงููู ู
ู ูุงูุงู ููุนุงุฏูู ู
ู ุนุงุฏุงู. ููุฌุนููู ูุชุงุจ ุงููู ูู ุงูููุงู
ุงูุฐู ูุชุจุนููู
َّููู ููุตุฏِّููู ุฎุจุฑู َّููู، ููุทูุนูู ุฃู
ุฑู ّููู. ููุฌุนููู ุฎูุฑ ุงููุฏู ูุงูุทุฑูู ูุงูุณูู
ูุงูู
ูุงูุฌ ูู ุณูุฉ ุฑุณูู ุงููู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
.
ูุฃู
ุง ุฃูู
ุงูุจุฏุนุฉ ูููุตุจูู ููู
ุฅู
ุงู
ًุง ูุชุจุนููู، ุฃู ุทุฑًููุง ูุณููููู، ููุงููู ุนููู ููุนุงุฏูู ุนููู،
ูุฅู ูุงู ููู ู
ุง ูุฎุงูู ุงูุณูุฉ، ุญุชู ููุงููุง ู
َู ูุงูููู
ู
ุน ุจُุนْุฏِู ุนู ุงูุณูุฉ، ููุนุงุฏูู
ู
ู ุฎุงูููู
ู
ุน ُูุฑْุจู ู
ู ุงูุณูุฉ.
ูุฅุฐุง ุนُุฑِู
ุงูุตุฑุงุท ุงูู
ุณุชููู
ูู
ููู ุจูุง ุญุงุฌุฉ ุฅูู ู
ุนุฑูุฉ ุญูููุฉ ูุคูุงุก ุงูุฑุฌุงู ุงูุฐูู ุงุดุชูุฑูุง ู
ููู
.
ูุจุงููู ุงูุชูููู ููุง ุญูู ููุง ููุฉ ุฅูุง ุจุงููู ุงูุนุฒูุฒ ุงูุญููู
.
"ุฌุงู
ุน
ุงูู
ุณุงุฆู " - ุงูู
ุฌู
ูุนุฉ ุงูุณุงุจุนุฉ - (ุต 463 - 467 ) .
Hukum
Membuat Ormas Islam
Ormas
islam bukanlah firqah dalam islam, ia merupakan sarana dakwah yang tujuannya
untuk perkembangan dakwah itu sendiri. Syaikh al-Albany rahimahullah
ditanya tentang Jam’iyyah al-Hikmah al-Yamaniyah
(Organisasi al-Hikmah dari Yaman), beliau pun menjawab:
“Setiap
jam’iyyah
(organisasi) yang dibentuk di atas dasar Islam yang benar yang mana
hukum-hukumnya disimpulkan dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta berada
di atas manhaj para Salafushshalih, setiap organisasi yang didirikan atas dasar
ini maka tidak ada alasan untuk diingkari dan dituduh sebagai hizbiyyah, karena
hal tersebut termasuk dalam firman Allah Ta’ala: “Dan
saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan takwa…” Saling tolong menolong
merupakan perkara yang syar’i dan wasilah (sarana)-nya kadang berbeda antara satu zaman dengan
zaman lainnya dan antara satu tempat dengan tempat lainnya dan juga antara satu
negara dengan negara lainnya, oleh karena itu menebarkan tuduhan terhadap
organisasi yang berdiri di atas dasar ini (al-Quran dan Sunnah) dengan label
“Hizbiyyah” atau “Bid’iyyah”, maka ini adalah klaim yang tidak boleh seorang pun
berpendapat dengannya sebab hal ini menyelisihi apa yang telah ditetapkan oleh
para ulama berupa pembedaan antara bid’ah yang
disifati dengan kesesatan secara umum dan sunnah hasanah. Sunnah hasanah
merupakan suatu metode yang dibuat dan diadakan sebagai wasilah (sarana) yang
bisa mengantarkan kaum muslimin pada suatu maksud/tujuan dan masyru’ secara
nash. Jadi, organisasi-organisasi yang ada di zaman ini tidaklah berbeda dengan
semua jenis sarana yang ada pada zaman ini yang bertujuan untuk mengantarkan
kaum muslimin pada tujuan-tujuan syar’i. Dan apa
yang ada dalam majelis kita ini berupa penggunaan alat rekam dengan ragam
jenisnya, adalah bagian dari masalah ini (sarana yang dibolehkan -pent). Ia
adalah wasilah yang dibuat baru, jika digunakan untuk mewujudkan tujuan yang
syar’i,
maka ia merupakan wasilah yang syar’i, dan jika
digunakan untuk tujuan yang tidak syar’i, maka ia
bukan wasilah yang syar’i. Demikian pula sarana transportasi yang beragam hari ini berupa
mobil, pesawat dan selainnya, semuanya merupakan wasilah, jika digunakan untuk
tujuan syar’i maka ia adalah wasilah yang syar’i, jika tidak maka ia bukan wasilah syar’i.”[18]
Nasehat
Mulia Syaikh Bakar Abu Zaid, Kepada Setiap Muslim[19]
Kepada
setiap muslim. Kepada mereka yang dahulu melakoni tashnif, namun kini telah
bertaubat. Kepada mereka yang terkena lemparan-lemparan tashnif namun tetap
teguh dan bersabar. Kepada setiap muslim yang gigih menjaga kesucian agamanya,
yang takut pada Allah dan merindukan negri akhirat. Kepada seluruh kaum
muslimin yang tunduk dan menghamba mencari kebenran di atas manhaj kenabian dan
cercah cahaya-cahaya risalah, aku tuliskan risalah ini agar menjadi nasehat
bagi kita dengan beberapa prinsip berikut:
1.
Menjadi
prinsip utama yang mulia dalam agama ini, bahwa mengoyak dan melecehkan harga
diri seorang muslim adalah perbuatan keji yang diharamkan. Ini merupakan
perkara yang aksiomatik menjadi bagian penting dalam islam. Kehormatan seorang
muslim bahkan termasuk lima perkara yang menjadi tujuan dasar syariat islam.
Maka wajib bagi setiap muslim yang sungguh-sungguh memuliakan
agama dan syariat Allah, agar benar-benar memuliakan pula dalam lubuk hatinya
kehormatan seorang muslim. Baik itu kehormatan agamanya, darahnya, hartanya,
nasabnya, maupun harga dirinya.
2.
Hukum asal
bermuamalah dengan seorang muslim adalah hendaknya membangun keyakinan bahwa
dia adalah seorang muslim yang berjalan di atas jalan yang lurus, dan engkau
tidak berhak mencari kesalahan-kesalahan dan aibnya yang tersembunyi. Maka hindarilah
fenomena tahshnif ini, menuduh para kesatria-kesatria dakwah, dan jangan
bermudah-mudahan melempar tudhan di sini dan disana. Jauhkanlah tanganmu
darinya itu menuntunmu pada kebenaran, itu akan membuatmu tenang dan ridho
terhadap jiwa.
3.
Jangan sekali-kali
keluar dari dua prinsip ini kecuali engkau memiliki bukti, bukti yang sangat
terang benderang, seterang mentari pada pertengahan siang yang terik. Maka wajib bagimu untuk selalu bertabayyun
(mengkonfirmasi) berita yang datang padamu. Jika engkau mendapatkannya maka
silahkan lakukan apa yang seharusnya dilakukan.
4.
Siapa yang
melanggar prinsip-prinsip itu tanpa bukti yang sungguh meyakinkan, maka ia
benar-benar telah merusak kehormatan dan kemuliaan syariat islam dengan cara
melecehkan dan menginjak-injak kehormatan saudaranya yang muslim.
5.
Wajib atas
seorang muslim memiliki akhlak dan obsesi yang tinggi.
6.
Memang ada
orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan pekerjaan menukil berita, ia
mengais-ngais berita tanpa melakukan konfirmasi lalu menyebarkannya dengan
lisannya. Maka terkadang engkau melihat ia melecehkan sudaranya dengan
perkataannya, maka jauhilah jalan mereka dan bila engkau mampu nasehatilah
mereka.
7.
Milikilah
selalu sikap inshaf. Karena sifat ini tidak akan menutup matamu dari keutamaan
seseorang. Dan jika saudaramu berbuat dosa, maka janganlah engkau bahagia
dengan dosanya itu,
8.
Jauhilah para
pembuat-pembuat fitnah, dai-dai yang gemar membuat fitnah.
9.
Ketahuilah,
bahwa melempar tuduhan dan fitnah kepada para dai padahal mereka meniti jalan
ahlu sunnah, adalah sebuah upaya untuk menghancurkan dakwah, menghilangkan
kepecayaan orang terhadapnya dan memalingkan manusia dari kebaikan.
Wallahu
ta’ala A’lam.
Semoga bermanafaat
[1] . HR. Bukhari dan Muslim
[2] . HR. Muslim
[3] . HR. Muslim
[4]. HR. Tirmidzi dan Nasai
[5] . Mudzakkirah fii Ushulil Fiqh min Muhadharaat
fadhilatusysyaikh ad duktur Muhammad bin Abdurrazzaq ad Duwaisy yang disusun
oleh Khairul Masmu’ Mas’udi al Banjari al Jawi: 357-358
[6] . Da’watu Ahli al-bida’: 88
[7] . Ibid
[8] .
Majmu' fatawa : (28/216,217)
[9] . Ar Ruh fil kalam ‘ala arwaahi al amwaat: 258. (Al maktabah asy-syamilah)
[10] . al-akhlaq wa as-siyar fi mudawamati an-nufus: 45
(al-maktabah asy-syamilah)
[11] . Madariju as-Salikin: 1/403 (al-maktabah
asy-Syamilah)
[13] . Aqidah beliau disebutkan bahwa beliau dengan jelas
mengatakan bahwa iman adalah makhluk, dan membaca Qur’an lafazhnya adalah
makhluk
[14] . Siyar a’lam an-nubala: 27/38 (al-maktabah asy-syamilah)
[15] . Majmu’ al-fatawa: 3/245 (asy-syamilah)
[16] . Tabyiinu kadzbi al-muftari: 29.
(al-maktabah asy-syamilah)
[17] . Majma’ al-hikam wal amtsal (al-maktabah
asy-syamilah)
[18] . Silsilah al-Huda wa an-Nur, kaset no. 590
lihat:
https://wahdahsurabaya.wordpress.com/2012/11/19/hukum-mendirikan-organisasi-islam-atau-ikut-serta-di-dalamnya/
[19] . Tashnif an-nas baina Azh-zhanni wal yakin:
75-79

0 komentar:
Posting Komentar