ILMU dalam Islam memiliki kedudukan yang istimewa,
karena kehidupan manusia tidak akan tegak lurus tanpa ilmu. Dan ilmu
merupakan sifat yang melekat pada para nabi.
Antara rahmat Allah yang diberikan kepada manusia adalah tidak
mencabut ilmu dengan meninggalnya para nabi, karena para nabi mewariskan
ilmu kepada sekelompok manusia untuk menggantikan kedudukan mereka
dalan mengemban amanah Allah dalam mengajarkan manusia dan mengemban
tugas para nabi ketika masih hidup, hanya saja kelompok tersebut tidak
didukung oleh wahyu secara langsung dan tidak pula ma’shum. Kelompok
yang dimaksud adalah para ulama.
Dari Abu Darda’ Radhiallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam
bersabda, Barangsiapa melalui satu jalan yang di dalamnya terdapat
ilmu, maka Allah akan memberinya jalan menuju surga. Dan sungguh para
malaikat meletakkan sayapnya bagi penuntut ilmu sebagai bentuk
keridhaannya atas apa yang diperbuat, dan seluruh penduduk langit dan
bumi meminta ampun bagi orang yang berilmu, bahkan ikan-ikan di air juga
melakukan hal yang sama.
Dan keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas
seluruh bintang, para ulama adalah orang yang mewarisi nabi, dan para
nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, mereka hanya mewariskan ilmu,
maka barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang
banyak, (At-Tirmidzi, Kitabul Ilmi, Bab Fadlul alal Ibadah, No. 2682).
Di akhir hadis Nabi di atas, sangat jelas bahwa para nabi tidak
mewariskan harta benda atau kekuasaan, namun justru mewariskan ilmu. Dan
siapa pun yang mengambil bagian dari ilmu para nabi maka sesungguhnya
ia telah mendapat hikmah. Dan siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya
telah dikaruniai kebaikan yang banyak. Begitu firman Allah (QS.
Al-Baqarah [2]: 269).
Hadis di atas juga menjelaskan keutamaan ilmu dan kedudukan ulama,
sampai-sampai para malaikat meletakkan sayapnya bagi para penuntut ilmu
sebagai bentuk dukungan dan penghormatan. Rasulullah juga mengkhususkan
dengan jelas bahwa makhluk yang ada di bumi dan langit memohonkan ampun
untuk seorang ulama, termasuk makhluk yang ada di dalam air.
Pada kesempatan lain, juga membandingkan ulama dengan ahli ibadah,
Sabda Nabi, Dari Abi Umamah al-Bahily bahwasanya disebutkan dua orang
pertama ahli ibadah dan yang lainnya ulama, maka Rasulullah bersabda,
Keutamaan ulama atas ahli ibadah adalah seperti antara kedudukanku
dengan orang yang paling rendah di antara kalian, lalu ia kembali
bersabda, Sesungguhnya para malaikat, para penduduk langit dan bumi,
para semut di liangnya, bahkan ikan pun turut mendoakan kebaikan kepada
orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia, (At-Tirmidzi, Kitabul
Ilmi, Bab fiqhi alal Ibadah, no. 2685).
Antara keutamaan ulama berbanding dengan ahli ibadah, karena ahli
ibadah yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia bisa saja sesat
bahkan menyesatkan orang lain. Seperti halnya penduduk Makkah di zaman
Rasulullah yang mengakui bahwa beribadah kepada Allah tetapi tanpa ilmu,
maka mereka tetap dalam kekafiran dan kesesatan, (QS. Az-Zumar: 3).
Begitu juga ahli ibadah yang beribadah hanya berdasarkan prasangka
yang salah, maka tentunya ibadah mereka tidak diterima, dan hanya akan
mendapatkan kerugian, (QS. Fishshilat: 23). Imam Al-Darimi menceritakan
bahwasanya Umar bin Abdil Aziz pernah mengirim surat pada penduduk
Madinah yang isinya, Sesungguhnya orang yang beribadah tanpa ilmu maka
dampak kerusakannya lebih banyak dari kemaslahatannya. (Az-Dzahabi, Tadzkiratul Huffadz, 1/439).
Abdullah bin Mas’ud bahkan menyatakan bahwa kedudukan ulama lebih
utama daripada para mujahid, beliau berkata, Demi Dzat yang jiwaku
berada di Tangan-Nya, sesungguhnya orang yang mati syahid di jalan Allah
mengharapkan agar Allah mengutus kepada mereka ulama karena mereka
mengetahui keutamaannya. (Abu Hamid Al-Gazali, Ihya Ulumuddin, 1/8).
Hasan al-Bashri berkata, ketika tinta ulama ditimbang dengan tinda syuhada, maka tinta ulama lebih unggul.
Sekilas pernyataan Hasan Al-Bashri rahimahullah tanpak berlebihan,
namun jika ditelaah secara mendalam maka argumennya bisa diterima karena
keutamaan jihad tidak akan pernah diketahui kecuali dengan ilmu.
Seorang tidak akan berangkat berjihad tanpa mengetahui keutamaannya, dan
syarat serta rukun jihad dapat diketahui dengan ilmu, termsuk status
hukumnya, fardhu ain atau kifayah.
Orang yang tidak berilmu dapat menyebabkan meninggalkan jihad yang
fardhu dan mendahulukan amalan sunnah, tentu saja ini salah. Demikian
pula, orang yang pergi berjihad tanpa ilmu, boleh jadi melanggar
ketentuan-ketentuan seperti membakar pemukiman warga, merusak tanaman,
membunuh orang yang dilarang dibunuh, dan sejenisnya. Ilmu akan
memberikan pengetahuan batas-batas dalam berjihad. Tanpa adanya ulama
yang hakiki maka tidak akan ditemukan pula para mujahid yang hakiki.
Contoh kongkrit adalah golongan Khawarij, rajin beribadah kepada
Allah, menegakkan kewajiban, dan berjihad di jalan Allah. Sayang, mereka
berbuat tanpa ilmu, sehingga hal tersebut menjerumuskan mereka dalam
lubang kesesatan atau bahkan mengeluarkan mereka dari Islam tanpa
sadar, bahkan merasa paling mulia kedudukannya di hadapan Allah.
Fenomena ini pula yang terlihat pada salah satu stasiun televisi (Metro TV) baru-baru ini yang menuduh bahwa organisasi massa Islam yang resmi seperti Wahdah Islamiyah,
lebih khusus pendiri dan pimpinannya, Dr. Zaitun Rasmin difitnah
seranpangan sebagai bagian dari terorisme. Konyolnya, data yang mereka
gunakanpun tidak jelas asal-muasalnya, sebab selama ini, saya beberapa
kali ikut training of trainer penanggulangam terorisme oleh BNPT tak pernah pun menyebut Wahdah Islamiyah sebagai organisasi terorisme.
Sebagaimana kita ketahui secara jamak, Zaitun Rasmin adalah Ketua
Ikatan Ulama dan Dai se-Asia Tenggara, juga sebagai salah satu inisiator
dan deklarator berdirinya Mejelis Intelektual-Ulama Muda Indonesia
(MIUMI). Kedua gerakan dakwah tersebut masing-masing concern dalam
melakukan kaderisasi ulama yang kiprahnya sangat terasa bagi bangsa dan
negara.
Tema-tema gerakan pun sangat religius-nasionalis, salah satunya,
Menuju Indonesia yang Lebih Beradab. Dan, sangat biadab jika menuduh dan
memitnah ulama sebagai teroris.
Oleh: Ilham Kadir (Peserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) Baznas-DDI)
Sumber: http://www.hidayatullah.com
Home »
Biadab
,
Fitnah
,
Ikatan Ulama Asia Tenggara
,
Muhammad Zaitun Rasmin
,
MUI
,
Teroris
,
Ulama
,
Wahdah Islamiyah
» Jangan Biadab dengan Ulama
Jangan Biadab dengan Ulama
Written By Unknown on Senin, 11 Januari 2016 | 09.43
Artikel Terkait
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.

0 komentar:
Posting Komentar